slide

Jumat, 09 April 2010

Masjid kubah emas

Masjid Dian Al Mahri atau yang lebih dikenal dengan Masjid Kubah Emas adalah salah satu dari segelintir masjid yang berkubah emas di dunia. Berada di Jalan Maruyung Raya, Kel. Meruyung, Kecamatan Limo, Kota Depok. Masjid megah ini berkapasitas 20 ribu jemaah berdiri kokoh di atas lahan seluas 70 hektare. Masjid ini mulai dibangun April 1999 oleh seorang dermawan, pengusaha asal Banten bernama Hj Dian Juriah Maimun Al Rasyid, istri dari Drs H. Maimun Al Rasyid, yang membeli tanah kawasan ini sejak tahun 1996.

Rencananya, selain masjid, lahan ini akan dijadikan Islamic Centre. Nantinya akan ada lembaga dakwah, dan rumah tinggal. Semua bangunan tersebut merupakan bagian dari konsep pengembangan sebuah kawasan terpadu yang diberi nama Kawasan Islamic Center Dian Al-Mahri.

Masjid Dian Al Mahri dibuka untuk umum pada tanggal 31 Desember 2006, bertepatan dengan Idul Adha 1427 H yang kedua kalinya pada tahun itu. Pembangunannya sudah berlangsung sejak tahun 1999, namun baru dibuka untuk umum pada tanggal 31 Desember 2006. Setelah shalat Idul Adha, pemilik masjid langsung meresmikan masjid ini. Ada sekitar 5 ribu jemaah yang mengikuti prosesi peresmian masjid ini.

Masjid ini disebut dengan Masjid Kubah Emas, sesuai namanya masjid ini memang menggunakan material emas dengan 3 teknik pemasangan: pertama, serbuk emas (prada) yang terpasang di mahkota/pilar, kedua gold plating yang terdapat pada lampu gantung, ralling tangga mezanin, pagar mezanin, ornament kaligrafi kalimat tasbih di pucuk langit-langit kubah dan ornament dekoratif diatas mimbar mihrab, yang ketiga gold mozaik solid yang terdapat di kubah utama dan kubah menara.

Pengurus dan pengelola masjid tidak mengungkapkan informasi mengenai total biaya pembangunan dan juga berat emas keseluruhan yang ada di kompleks masjid ini. Hanya ada informasi ketebalan emas yang melapisi kubah. Setiap kubah memiliki ketebalan emas 2 sampai 3 milimeter. Emas kubah tersebut kemudian dilapisi lagi dengan mozaik kristal.


- Arie Saksono
Read More..

BAU NYALE, apa ya?

Bau Nyale merupakan pesta tradisi suku Sasak di Nusa Tenggara Barat, khususnya di sepanjang pantai Lombok Tengah dan Selatan. Tradisi ini berkaitan dengan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Legenda yang mengisahkan Putri Mandalika yang arif dan jelita.

Putri Mandalika adalah putri Raja Tonjang Beru dari Kerajaan Tunjung Bitu. Wajahnya yang cantik jelita dan perangainya yang lembut membuat para Pangeran dari berbagai negri jatuh cinta dan bermaksud menyuntingnya.

Tak ada satu pangeran pun yang datang melamar ditolaknya. Sehingga menyebabkan para pangeran itu bermusuhan dan berpotensi menyebabkan perang terbuka. Hal ini menyebabkan konflik batin pada Putri Mandalika. Ia gelisah dan termenung memikirkan agar tidak terjadi pertumpahan darah. Tidak ada pilihan lain, akhirnya ia memutuskan untuk mengorbankan dirinya sendiri

Sebelum terjun ke laut lepas di atas batu karang, sang Putri berkata : “ Wahai Ayahanda, ibunda dan rakyat negri Tonjang Beru yang aku cintai.. karna aku tak dapat memilih dari sekian banyak Pangeran, aku putuskan diriku untuk kalian semua. Diriku telah ditakdirkan menjadi nyale, agar kalian dapat nikmati bersama pada bulan dan waktu saat nyale muncul dari permukaan laut .. “.

Bersamaan dengan itu, angin kencang, kilat dan gemuruh petir menggelegar, sambar menyambar. Suasana menjadi kacau dengan suara-suara teriakan dimana-mana. Sesaat kemudian suasana menjadi tenang, namun tiba-tiba bermunculan binatang kecil dalam jumlah banyak dari dasar laut. Binatang itu kemudian dinamakan nyale yang diyakini sebagai jelmaan Putri Mandalika.

Mengambil binatang yang berbentuk cacing laut itu sebanyak-banyaknya kemudian dikenal dalam bahasa Lombok sebagai BAU NYALE (menangkap nyale). Itulah tradisi suku Sasak sebagai bentuk cinta kasih mereka kepada sang Putri yang berkorban diri untuk menghindari malapetaka bagi negri.


Suhartono dan Khaerul Anwar
Kompas, 14 Desember 2009
Read More..

Who is Ki Padmasusastra

Banyak orang menyangka bahwa kesusastraan Jawa telah berakhir dengan menempatkan Ranggawarsito sebagai pujangga kraton terakhir. Padahal disitu masih terdapat Ki Padmasusastra (1843 – 1926) yg kerap terlupakan dan terpinggirkan.

Nama Ki Padmasusatra jarang dikenali,padahal beliau adalah pokok dan tokoh yang kontroversial dalam ranah kesusastraan Jawa. Namanya disebut-sebut George Quinn (1992) sebagai pembentuk novel Jawa modern. Bahkan John Pamberton (2003) menjulukinya sebagai etnografer modern Jawa yang pertama karena dedikasi pembacaan, pencatatan dan penafsirannya dari sudut Jawa non keraton.

Puncak dari laku kreatif Ki Padmasusastra dalam dunia bahasa dan sastra Jawa adalah Serat Paramabasa (1883), Serat Urapsari (1896), Serat Bauwarna (1898), Serat Warna Basa (1900), Serat Tatacara ( 1907), Kandha Bumi (1924) dan lain-lain. Sementara itu Serat Rangsang Tuban menurut Sri Widati (2001) menjadi menjadi titik kritis dalam sejarah sastra Jawa karena mencatat adanya fakta pembaruan dalm pemunculan tema emansipasi wanita.


Sumber: Nunot Jababeka
Read More..